Donderdag 16 Mei 2013

PEMIKIRAN KALAM (SYEIKH ABDURRAHMAN SHIDDIQ AL-BANJARI)


          Tugas Mandiri                                                                               Dosen Pembimbing
           Ilmu Kalam IV                                                                              Rina Rehayati, M.Ag
        
PEMIKIRAN KALAM
(SYEIKH ABDURRAHMAN SHIDDIQ AL-BANJARI)
DISUSUN OLEH
Abdul Rahman Sayuti
(10931006365)

FAKULTAS USHULUDDIN
JURUSAN AQIDAH FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTAN SYARIF KASIM
RIAU
2011



KATA PENGANTAR

            Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah swt yang telah memberikan nikmat kepada penulis baik nikmat jasmani maaupun nikmat rohani sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ilmu kalam IV ini. Kemudian ucapan terima kasih tidak lupa penulis ucapkan kepada rekan-rekan yang telah membantu memotivasi dalam pembuatan makalah ini sehingga makalah ini dapat terselesaikan.
            Kemudian ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada dosen pembimbing ilmu kalam IV  yaitu Ibu Rina Rehayati, M.Ag, yang telah membimbing dalam mata kuliah ilmu kalam IV  ini. Penulis berharap dengan adanya makalah ini  akan menambah pemahaman kita tentang pemikiran Syiekh Abdurrahman Shiddiq, sehinggga pembaca tidak hanya sekedar mendengar apa yang orang sampaikan, tetapi juga mengetahui pokok-pokok pemikirannya sesuai dengan beberapa referensi yang penulis dapatkan.
            penulis menyadari bahwa makalah ini sangat jauh dari kesempurnaaan, untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun akan penulis terima guna kesempurnaan makalah ini untuk kedepannya.


                                                                                                              Penulis


                                                                                                           
                                                                                                    23   Oktober  2011
A. LATAR BELAKANG

Sebuah pemikiran yang telah mejadi rujukan setiap intelek tentu pemikiran yang mempunyai nilai yang tinggi serta dapat memberi pengaruh didalam dunia intelektual. Berpijak dari situ, maka tokoh yang akan penulis bahas ini adalah seorang tokoh yang berasal dari Indonesia. Maka, kita sebagai umat islam dan sekaligus warga Negara Indonesia turut bangga dalam lahirnya beberapa orang tokoh yang telah memberikan sumbangan pemikiran yang akan memberikan pengaruh ke dunia intelektual di masa sekarang dan yang akan datang. Salah satu tokoh yang penulis maksud yaitu yang menjadi objek kajian penulis. Beliau adalah Syeikh Abdurrahman Shiddiq Al-Banjari. sesuai dengan sebuatan Al-Banjari, tentu kita akan dapat menerka bahwa dari mana beliau ini berasal dan dilahirkan.
Berbicara dunia pemikiran islam tentu telah sejak dahulu para mutakallimin telah banyak membahas dan memperbincangkan setiap masalah yang timbul di dalam setiap pemikiran manusia. Oleh karena itu, akan lebih sempurna jika kita mengetahui bagaimana suasana pemikiran yang ada setelah pemikir-pemikir terdahulu dan tentunya pemikir yang sekarang atau setelah pendahulu akan memeberikan koreksi dan penyempurnaan terhadap setiap pemikiran yang telah diberikan oleh para mutakallimin terdahulu dan kita harapkan dari situ akan mendapat titik tengah dari setiap permasalahan yang diajukan.
Dalam pembahasan kali ini, penulis membahas pemikiran kalam Syeikh Abdurrahman Shiddiq yang tentunya akan berkaitan dengan pemikir kalam ulung yaitu Jabariah dan Qadariah. Disinilah Syeikh Abdurrahman Shiddiq memberikan komentar dan solusi dari pemikiran beliau terhadap mutakallimin seperti aliran Jabariah dan Qadariah yang beliau muat didalam karangan beliau tentunya.
B. Pokok Permasalahan
            1. bagaimana pemikiran kalam Syeikh Abdurrahman Shiddiq..?
2. apakah Syeik Abdurrahman Shiddiq mengikuti pemikiran Jabariah atau Qadariah..?



 B.PEMBAHASAN
PEMIKIRAN KALAM
(ABDURRAHMAN SHIDDIQ Al-BANJARI)

A.    Riwayat Hidup

a. Kelahiran
Syekh Abdurrahman Siddiq al-Banjari (selanjutnya disebut Abdurrahman Siddiq) dilahirkan di Kampung Dalam Pagar Martapura Kalimantan Selatan pada tahun 1857 M pada masa pemerintahan Sultan Adam al-Watsiq Billah bin Sultan Sulaiman al-Mu’tamidillah (1825-1857 M),[6] dengan nama Abdurrahman. Kemudian saat menuntut ilmu di Mekkah, oleh salah seorang gurunya memberi tambahan “Siddiq” pada namanya, sehingga menjadi Abdurrahman Siddiq.[1]

Nama ayahnya adalah H. Muhammad Afif bin Mahmud bin H. Jamaluddin, sedangkan nama ibunya adalah Shafura binti H. Muhammad Arsyad (Pagatan). Silsilah dari pihak ayahnya, bertemu pada Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari dari istrinya yang bernama Gowat (Go Hwat Nio) seorang keturunan Cina. Dari istrinya ini Syekh Muhammad Arsyad memiliki enam orang anak, di antaranya adalah Khalifah Haji Zainuddin. Haji Zainuddin kawin dengan Ambas melahirkan tujuh orang anak, satu di antaranya bernama Sari. Sari bersuamikan Mahmud dan melahirkan tujuh orang anak, satu di antaranya adalah Haji Muhammad Afif, orangtua dari Abdurrahman Siddiq.[2]

Silsilah keluarga dari pihak ibu juga bertemu pada Syeikh Muhammad Arsyad dari istrinya yang bernama Bajut.[3] Bajut melahirkan anak yang bernama Syarifah. Syarifah bersuamikan Usman dan melahirkan Muhammad As’ad yang kawin dengan Hamidah dan melahirkan 12 orang anak. Salah satu di antara anak Muhammad As’ad dan Hamidah bernama Muhammad Arsyad. Muhammad Arsyad beristrikan Ummu Salamah dan melahirkan tujuh orang anak, satu di antaranya bernama Shafura dan Shafura inilah ibu dari Abdurrahman Siddiq.

b.Zuriatnya

Abdurrahman Siddiq merupakan zuriat kelima dari Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (1770-1812 M), yang urutannya adalah Abdurrahman Siddiq bin Shafura binti Mufti H. M. Arsyad bin Mufti H. Muhammad As’ad bin Syarifah binti Syekh Muhammad Arsyad. Kemudian apabila dilihat dari pihak neneknya, Ummu Salmah, Abdurrahman Siddiq merupakan generasi keempat dari Syekh Muhammad Arsyad, yakni Abdurrahman Siddiq bin Shafura bin Ummu Salamah binti Pangeran Mufti H. Ahmad bin Syekh Muhammad Arsyad sal-Banjari.[4]

Selain punya zuriat ke atas yang bertemu pada Syekh Muhammad Arsyad, Abdurrahman Siddiq juga banyak melahirkan zuriat ke bawah melalui istri-istri yang pernah dinikahinya, yang berjumlah sembilan orang dan anak berjumlah 35 orang.[5]

c.Pendidikannya

Abdurrahman Siddiq sewaktu kecilnya tidak sempat lama diasuh oleh ibunya, sebab di usia baru tiga bulan ibunya Shafura meninggal dunia. Selanjutnya beliau diasuh oleh saudara perempuan almarhum yang bernama Sa’idah, yang dalam masa pengasuhan ini dia tetap dipelihara kakek dan neneknya. Menjelang usia satu tahun, kakeknya yang bernama Mufti H. Muhammad Arsyad bin Mufti H. Muhammad As’ad meninggal dunia. Sejak saat itu hingga dewasa Abdurrahman tinggal dan diasuh oleh neneknya yang bernama Ummu Salamah.

Ummu Salamah adalah seorang perempuan yang berilmu agama dan taat beribadah. Dalam pemeliharaannya inilah Abdurrahman Siddiq diajari membaca Alquran dan setelah menjelang dewasa disuruh belajar kepada guru-guru agama yang ada di Kampung Dalam Pagar.[6]

Sewaktu belajar agama di Dalam Pagar ini, Abdurrahman Siddiq sempat berguru dengan H. Muhammad Said Wali, H. Muhammad Khotib dan Syekh H. Abdurrahman Muda. Seiring dengan usia dewasa, beliau juga aktif berdagang sampai ke pulau Jawa dan Sumatera dan sempat pula menuntut ilmu agama di Padang Sumatera Barat.

Setelah menamatkan pendidikannya di Padang tahun 1882, tidak lama kemudian, yakni tahun 1889 beliau pergi menuntut ilmu ke Mekkah. Ada versi mengatakan beliau berangkat ke tanah suci tahun 1887 dari pulau Bangka Sumatera Selatan yang menjadi tempat kediamannya saat itu.

Di Mekkah ia menuntut ilmu kepada para ulama besar yang membuka halaqah-halaqah pengajian agama di Masjidil Haram. Guru-guru tempatnya belajar di antaranya adalah Syekh Said Bakri Syatha, Syekh Said Babasyid, Sayyid Ahmad Zaini Dahlan dan Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani.[7] Selain itu Abdurrahman Siddiq juga giat mengaji agama di halaqah-halaqah yang ada di Masjid Nabawi di Madinah.[8]

Abdurrahman Siddiq tinggal di tanah suci Mekkah dan Madinah selama tujuh tahun, lima tahun menuntut ilmu dan dua tahun mengajar (tahliah) di Masjidil Haram. Sebelum pulang ke tanah air untuk menyampaikan dan mengamalkan ilmu yang diperoleh atas izin dari pemerintah Kerajaan Saudi Arabia, Abdurrahman Siddiq sempat pula mengajar di Masjidil Haram.


Setelah mengabdikan ilmu di Martapura, bersama keluarga dia pindah ke Sapat, Indragiri. Abdurrahman juga mengadakan perjalanan dakwah ke Semenanjung Melayu pada tahun 1911. Di Sapat Indragiri pada tahun 1912 beliau membangun sebuah masjid dan pondok pesantren di tengah-tengah perkebunan kelapa. Di sana selain sebagai guru agama dan muballigh beliau juga dikenal sebagai petani kelapa. Lokasi pesantren tersebut dikenal sebagai kampung Parit Hidayat, yang kemudian berkembang menjadi locus pendidikan di daerah Riau seiring dengan kedatangan para santri dari berbagai pelosok Indragiri.

Abdurrahman Siddiq juga pernah ditawari untuk menjadi Mufti[9] di beberapa tempat. Pertama sewaktu singgah di Betawi ditawari menjadi Mufti Betawi, yang ketika itu dijabat oleh Syekh Said Usman Betawi. Kedua, beliau juga ditawari oleh Sultan Kerajaan Johor menjadi Mufti, namun kedua tawaran itu ditolaknya. Tawaran untuk menjadi mufti di kerajaan Indragiri Riau pun baru diterimanya setelah pihak kerajaan memohon berkali-kali, yang mulai diembannya sejak tahun 1919 sampai wafatnya tahun 1939.

Abdurrahman Siddiq adalah seorang ulama besar yang sangat produktif. Muhammad Arrafie Abduh menyebutnya seorang ulama yang wara’, sufi yang tawadlu’, da’i yang gigih, pendidik yang giat, mufti yang aktif, penterjemah, petani, dan orang yang gigih menghidupkan seni yang bernafaskan nilai-nilai Islam dan aktif dalam ilmu beladiri Budi Suci dalam rangka menunjang suksesnya dakwah. Karya-karya Abdurrahman semuanya ditulis dalam bahasa Melayu dengan huruf Arab Melayu, dan umumnya berkenaan dengan masalah agama, antara lain adalah :

1. Fathul Alim, kitab tentang Ilmu Tauhid diterbitkan 28 Sya’ban 1347 H/8 Februari 1929 M

2. Aqaid al-Iman, kitab tentang Ilmu Tauhid diterbitkan 18 Sya’ban 1355 H/2 Nopember 1936 M, penerbit Mathba’ah Ahmadiyah, Singapura

3. Asror al-Shalat min Uddah Kutub al-Mu’tamadah, kitab Fiqih yang menerangkan rahasia-rahasia shalat, diterbitkan bulan Zulqaidah 1349 H/2 April 1931.

4. Risalah Amal Ma’rifah, ditulis tahun 1332 H

5. Mau’izhat lin Nafs wa li Amtsali, kitab Tauhid bercorak Tasawuf diterbitkan oleh Mathba’ah Ahmadiyah Singapura, tahun 1355 H.


6. Syair Ibarat dan Khabar Qiamat, sebuah buku sastra keagamaan diterbitkan oleh Mathba’ah Ahmadiyah Singapura tahun 1344 H.


7. Kitab al-Faraid, sebuah Kitab Fiqih tentang kewarisan, diterbitkan oleh Mathba’ah al-Ikhwan Singapura tahun 1338 H.

8. Majmu’ al-Ayat wa al-Hadits fi Fadoli al-Ilmi wa al-Ulama wa Al-Muallimin wa al-Mustami’in li Khadim al-Thalabat, sebuah buku kumpulan ayat dan hadits tentang kelebihan ilmu dan ulama, diterbitkan oleh Mathba’ah Ahmadiyah Singapura tahun 1346 H.1

9. Risalah Syajarah al-Arsyadiyah dan Risalah Takmilah Qaul al-Mukhtashar fi Alamat al-Mahdi al-Muntazhar, risalah yang berisi silsilah keturunan Syeikh Arsyad, tanda-tanda hari kiamat dan kedatangan Imam Mahdi, diterbitkan oleh Mathba’ah Ahmadiyah Singapura tahun 1336 H.

10. Kumpulan Khutbah, sebuah kitab berbahasa Arab yang berasal dari kumpulan Khutbah Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan diterjemahkan oleh Abdurrahman Siddiq, diterbitkan oleh Mathba’ah Ahmadiyah Singapura tahun 1938 M.

B.        Pemikiran Kalam.
1.      Pandangan Syekh Abdurrahman Shiddiq terhadap Ilmu Kalam
            Berdasarkan karya-karya tulisnya, Syeikh Abdurrahman nShiddiq dapat dikatakan tidak melibatkan diri secara eksplisit dalam diskusi-diskusi yang mewarnai sikap pro-kontra ulama terhadap kehadiran dan keabsahan ilmu kalam (teologi) sebagai ilmu tentang ushul al-din. Walaupun demikian, Syeikh ini bagaimanapun juga, secara implisit tidak dapat terhidar dari pengaruh diskusi-diskusi tersebut. Oleh karena itu pula ia bebas menentukan pandangan dan sikapnya mengenai pentingnya ilmu kalam dalam penjelasan akidah islamiah.
            Sebagai seorang ulama yang ikut ambil bagian dalam membahas persoalan-persoalan teologis dalam Islam, Syeikh Abdurrahman Shiddiq, sudah barang tentu mempunyai pandangan dan sikap positif terhadap eksistensi dan keabsahan metode ilmu kalam. Artinya, metode ilmu kalam menurut Syeikh Abdurrahman Shiddiq dapat diandalkan untuk mengantarkan umat kepada tingkat pemahaman dan penghayatan yang benar tentang ushul al-din.
            Meskipun Syeikh Abdurrahman Shiddiq menghargai arti penting ilmu kalam, namun tampaknya ia juga mengakui bahwa metode yang disodorkan dalam ilmu kalam buknlah satu-satunya metode yang dapat menghantarkan orang kepada suatu bentuk keyakinan (aqidah) yang sesungguhnya. Bahkan ia mellihat segi keterbatasan ilmu kalam justru terletak pada metode rasional (al-nazhar) yang diterapkan didalamnya untuk menangkap hakikat kebenaran dari aqidah. Formalisme logika kalam jelas mengenyampingkan hal-hal yang bersifat intuitif essoteris dalam diri manusia. Pada hal segi ini tidak kalah pentingnya sebagai saran yang potensial untuk mengenal (ma’rifat) Tuhan secsara lebih mendalam.[10]
            Dalam pandangan Syeikh Abdurrahman Shiddiq, antara ilmu kalam dan ilmu tasawuf, secara struktur keilmuannya, keduanya mempunyai hubungan. Dengan demikian kaitan antara kedua bidang itu tidat pada segi metodologi yang diterapkan oleh masing-masing bidang itu, tetapi terletak pada gradasi atau hrarki kemmampuan manusia menggukan daya rasionalitasnya dan daya intuitifnya dalam usahnya memahami dan mengenal hakikat kebenaran materi aqidah. Meskipun ia menghargai capaian ilmu tasawuf untuk mendekatkan diri manusia kepada Tuhannya, namun ia mengingatkan pula bahwa pemahaman yang kurang baik terhdap ilmu itu dapat membahayakan aqidah. Melalui sebuah bait syair yang digubahnya ia mengakui, betapa indahnya rahasia ayng dibawa oleh imu tasawuf, dan betapa pula rumitnya ilmu tersebut sehingga apabila seseorang salah dalam memahaminya maka ia akan menjadi orang yang sesat dalam aqidah. Ia berkata:
            “ilmu tasawuf bukannya mudah
            Sesungguhnya ]itu rahasi indah
            Jikalau memahami engkau tersalah
            Menjadi kafir, na’uzu bi Allah.”[11]
            Untuk itulah, Syeikh Abdurrahman Shiddiq menganjurkan agar seseorang sebelum menggukan zawq sufistiknya, ia seharusnya terlebih dahulu ‘aqa’id al-iman yang dihasilkannya oleh metode rasional kalam dalam atau dengan perkataan lain, sebelum seseorang memasuki dunia tasawuf, terlebih dahulu ia harus menguasai ilmu ushul al-dhin. Sehubungan dengan itu ia berkata:
            “jikalau menuntut ilmu sufi
            Tuntutlah dahulu ilmu ushuli
            Karena tasawuf rahasianya tinggi
            Mengajinya haruslah hati-hati.”[12]
            Sejauh ini memang tidak ditemukan penjelasan, mengapa syeikh abdurraman shiddiq berpendapat bahwa seseorang yang ingin mendalami tasawuf  haruslah terlebih  dahulu ilmu kalam. Tetapi dalam ungkapannya di atas, dapat diduga bahwa syeikh ini tampaknya bermaksud menempatkan capaian ilmu pengalaman-pengalaman tasawufi merupakan upaya pemberian makna terhadap kepercayaan-kepercayaan yang menghasilkan oleh metode kalam tersebut.

2.       Akal manusia dan fungsi wahyu
            Syeikh Abdurrahman Shiddiq menyebut akal dengan panggilan ahl-nazhar. Akal menurut beliau seperti yang termaktub di dalam syair beliau[13]  yaitu suatu daya untuk berfikir bagi manusia dalam rangka mencari kebenaran yang kemudian menjadi pengetahuan. Selanjutnya akal menurut beliau pula yaitu nur yang rohani sifatnya, yang dengannya semua orang memperoleh ilmu dharuri dan nazhari.[14] Yang di maksud dengan nur disini adalah potensi suci dari kebenaran yang berasal dari Yang Maha Suci, yaitu Allah. Kata “nur” berasal dari bahasa arab yang berarti cahaya. Cahaya biasanya berfungsi untuk menerangi. Akal disebut sebagai nur karena ia merupakan sarana yang mampu menerangi manusia kepada jalan kebenaran. Dengan demikian, akal menurut pandangan Syeikh ini merupakan hal yang bersifat immateri. Selanjutnya akal menurut beliau pula mempunyai hubungan yang erat dengan ilmu. Ilmu tidak akan dapat beguna tanpa pendayagunaan akal. Akal dengan potensinya, membangun dalil-dalil rasional, merupakan dasar dari tercipta dan terkembangnya pengetahuan tentang kebenaran. Ilmu yang dimaksu oleh Syeikh Abdurrahman Shiddiq bukanlah sekedar dalam pengertian “mengetahui” tetapi lebih dari itu yaitu, dalam pengertian “mengenal” (ma’rifat).
            Akal dalam pandangan Syeikh Abdurrahman Shiddiq, tidak hanya mampu menangkap fenomena-fenomena lahiriah dan membuat konsep-konsep tentangnya, tetapi akal dalam batas-batas tertentu mampu memikirkan tentang sesuatu yang bersifat metafisik.
            Jadi Syeikh Abdurrahman Shiddiq ini menenmpatkan posisi akal sangat penting dalam mengiringi informasi yang diturunkan oleh Allah melalui wahyu Al-Qur’an.
3.       Paham Kebebasan Manusia
            Suatu paham yang sudah diketahui secara umum dalam teologi Islam adalah paham yang mengatakan bahwa; wujud ada dua yaitu; Tuhan sebagai khalik dan alam beserta isinya (manusia dan lain-lain) sebagai makhluk (ciptaan). Oleh karenanya dimana manusia sebagai makhluk yang bergerak, berbuat dan berperilaku. Dari situ timbullah persoalan, apakah perbuatan manusia itu bersumber dari Tuhan atau tidak?
            Didalam hal ini tentunya paham-paham terdahulu telah memberikan pengaruh dan pahamnya kepada kita. Terutama paham Jabariah yang meyakini bahwa semua perbuatan manusia itu bersumber dari Tuhan. Sedangkan paham yang berseberangan dengan itu adalah paham Qadariah yang menyatakan bahwa perbuatan manusia itu bersumber dari manusia itu sendiri.
            Penulis memahami bahwa dalam buku yang ditulis oleh Bapak Nazir Karim yang menjadi rujukan primer penulis bahwa Syeikh Abdurrahman Shiddiq ini tidak menyetujui jika manusia itu hanya digerakkan oleh Allah saja, karena jika demikian maka manusia tidak perlu untuk mempertanggung jawabkan kesalahan/dosanya (paham Jabariah). Selanjutnya mengenai paham Qadariah Syeikh ini setuju dengan implikasi yang dibawa oleh paham qadariah berupa keyakinan, pentingnya tanggung jawab manusia atas perbuatan-perbuatannya, tetapi dalam pada itu ia menolak implikasi paham tersebut yang mengukkuhkan kemerdekaan dan kebebasan manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya, yang menurut Syeikh ini, berarti menafikan peran Tuhan di dalamnya. Bagi Syeikh Abdurrahman Shiddiq, kemerdekaan dan kebebasan menusia yang seperti itu berarti tidak maha kuasanya Tuhan.[15]  
4.       konsep iman dan hakikatnya
            Pehaman masalah keimanan syeikh ini membagi dua, yang pertama keimanan khawas dan awam. Keimanan khawas  itulah yang sampai pada ma’rifat, sedangkan iman tashdiq dan taqlid untuk golongan awam.
5.       Persoalan Eskatologi
            Eskatologi didalam kamus besar bahasa Indonesia memeliki arti yaitu  ajaran teologi mengenai akhir zaman spt hari kiamat, kebangkitan segala manusia, dan surga serta neraka
Melalui syairnya Syeikh ini banyak sekali memberikan singgungan agar masuia siap siaga untuk menuju akhirat dan selamat tentunya akhirat kelak. Syairnya yang berbunyi:
“hai sekalian orang yang beramal
Tuntutlah ilmu kerjakan ‘amal
Akhirat sungguh dikatakan kekal
Di dunia juga mencari bekal”[16]
            Selanjutnya persoalan surga dan neraka merupakan tempat kembali manusia sesuai dengan ganjaran yang diberikan karena telah menjalani kehidupan dimuka bumi ini tentunya.

6.       Sifat-Sifat Tuhan.
            Mengenai sifat-sifat Tuhan ini Syeih Abdurrahman Shiddiq memuat di dalam kitabnya, Fath al-‘Alim,Syeikh Abdurrahman Shiddiq yang menyatakan,”bahwa zat tidak terpikirkan (wujudnya) kecuali dengan sifat (la-yuta’aqqal al-jat ila biha).[17] Makna yang terkandung dalam ungkapan ini adalah; zat tidak dapat dimengerti hakikat wujudnya secara rasional kecuali adanya sifat yang melekat pada-Nya.
            Berdasarkan ungkapan itu, Syeihk Abdurrahman Shiddiq kelihatannya bermaksud mengukuhkan paham yang mengakui adanya sifat bagi Tuhan. Di samping itu, unkapan itu mengindikasikan bahwa Syeikh ini membedakan antara zat Tuhan dan sifat-Nya, tetapi keduanya satu dalam hakikat wujud Tuhan. Di tinjau dari segi ini dapat dikatakan bahwa sifat bukanlah zat, tetapi sifat tidak berpisah dari zat.[18]
           
7.       Perbuatan-Perbuatan Tuhan.
            Mengenai persoalan pertama yaitu; apakah Tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap manusia, Syeikh Abdurrahman Shiddiq mencoba menanggapinya dengan cara melihat dari dua sisi sumber pengetahuan, yaitu sisi akal dan wahyu. Dari sisi akal Syeikh ini cenderung mendukung pendapat yang menyatakan bahwa Tuhan tidak memiliki kewajiban-kewajiban terhadap manusia. Sedangkan dari sisi wahyu yaitu; Syeikh Abdurrahman Shiddiq dapat menerima adanya kewajiban-kewajiban Tuhan, jadi disini menurutnya Tuhan sendiri yang mewajibkan diri-Nya untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang dikehendaki-Nya.[19] 

C. PENUTUP

1. kesimpulan.
            Pemikiran Syeikh Abdurrahman Shiddiq yaitu sangat menghargai akal namun wahyu tetap yang tertinggi.
Selanjutnya bertitik tolak dari paham Jabariah yang mempunyai pemikiran bahwa setiap kegiatan manusia itu bersumber dari Allah dan paham pemikiran Qadariah yang mempunyai pemikiran bahwa setiap tingkah laku manusia itu adalah berasal dari manusia itu sendiri. Dari landasan pemikiran itu, maka Syeikh Abdurrahman Shiddiq tidak sepaham dengan Jabariah, karena menurut beliau dengan begitu maka manusia tidak perlu mempertanggungjawabkan semua tingkah lakunya dan untuk paham Qadariah beliau sepaham dengan pemikirannya namun beliau juga tidak bias menerima jikalau hak prerogative itu dari manusia total. Jadi Syeikh Abdurrahman Shiddiq ini menurut hemat penulis beliau berada di antara kedua pemikiran ini atau ditengah-tengah pemikiran kalam Jabariah dan Qadariah. Artinya beliau telah melakukan telaah dan memberikan sumbangan pemikiran baru untuk dunia pemikiran kalam tentunya.

2. Saran
            Penulis menyadari bahwa dalam penulisan dan penyusunan makalah ini masih banyak kekeliruan dan kekurangan oleh sebab itu saya sebagai makalah meminta kritik dan saran yang membangun demi kelancran selanjutnya.
            Demikian makalah ini saya sampai kan terlebih dan kurang penulis selaku pemakalah minta maaf, terimakasih wallahu a’lam bi al-sawab.



DAFTAR PUSTAKA
Abduh, M. Arrafie “Corak Tasawuf Abdurrahman Siddiq dalam Syair-Syairnya”, Jurnal Penelitian Kutubkhanah, (Pekanbaru: IAIN Sultan Syarif Qasim, 2001)
Daudi, Abu, Maulana Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, (Martapura: Sekretariat Madrasah Sullamul Ulum Dalam Pagar, 1996)
Nazir Karim, Muhammad. Dialektika teologi Islam, Bandung, Penerbit Nuansa, 2004
Departemen Agama RI, Eksiklopedi Islam, Jilid 2, (Jakarta: Ichtiar Baru–Van Hoeve, 1993)






[1]M. Arrafie Abduh, “Corak Tasawuf Abdurrahman Siddiq dalam Syair-Syairnya”, Jurnal Penelitian Kutubkhanah, (Pekanbaru: IAIN Sultan Syarif Qasim, 2001), No.III, h. 55.
[2]Abdurrahman Siddiq, Sajarah al-Arsyadiyah, (Singapura: Mathba’ah Ahmadiyah, 1336 H), h. 51.
[3]Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari memiliki 12 orang istri yang dikawini dalam waktu tidak bersamaan. Saat wafat istrinya yang masih hidup tinggal 3 orang, 30 orang anak dan 114 orang cucu. Lihat Yusuf Halidi, Op. Cit., h. 60.
[4]Abu Daudi, Maulana Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, (Martapura: Sekretariat Madrasah Sullamul Ulum Dalam Pagar, 1996), h. 84.
[5]Ibid.,
[6]Kampung Dalam Pagar di masa-masa Kesultanan Banjar adalah pusat pendidikan agama                                                                                                      terbesar.  
 
[7]Departemen Agama RI, Eksiklopedi Islam, Jilid 2, (Jakarta: Ichtiar Baru–Van Hoeve, 1993),hal.841.

 
[8]Halaqah adalah istilah salah satu metode pengajian agama melalui kaji duduk. Halaqah artinya diskusi untuk memahami isi kitab yang diajarkan oleh syekh seorang guru.
[9]Mufti adalah sebuah istilah jabatan yang berarti hakim yang tertinggi, pengawas peradilan pada umumnya. Di bawah Mufti ada Qadli, yaitu pelaksana hukum dan pengatur jalannya pengadilan agar hukum berjalan dengan wajar dan benar. Mufti memimpin sebuah Mahkamah Syar’iyah, guna mengawasi pengadilan umum (masyarakat). Pejabat Mufti adalah orang yang betul-betul mengerti seluk-beluk hukum Islam secara mendalam. Lihat Yusuf Halidi, Op.Cit.,hal.40-41.

 
[10]. Bagi sufisme, hakikat pengetahuan diperoleh melalui zawq seorang sufi: “siapa yang belum ”merasa” berarti ia belum mengetahui.”dengan ini, term ma’rifat dalam tasawuf mempunyai konotasi yang berbeda dari term ”ma’rifat” yang terdapat dalam konsep ilmu kalam (teologi). Ma’rifat dalam  konsep ilmu kalam (teologi) merupakan pengetahuan tentang kebenaran yang diperoleh melalui akal. Lihat Syeikh Abdurrahman Shiddiq, Risalah ‘amal ma’rifat, singapura, Math’baah Ahmadiyah, 1332 H., hal. 19. Lihat pula Abdurrahman Shiddiq, Op.Cit., hal. 3. Dalam Muhammad Nazir Karim. Dialektika Teologi Islam. Bandung. Penerbit Nuansa:2004. hal. 87.
[11]. Syeikh Abdurrahman Shiddiq, Syair ‘Ibarat dan Khabar Kiamat, Singapura, Mathba’ah Ahmadiyah, 1344 H., hal. 29. Dalam Muhammad Nazir Karim. Dialektika Teologi Islam. Bandung. Penerbit Nuansa:2004. hal. 87.
[12]. Ibid.,  Dalam Muhammad Nazir Karim. Dialektika Teologi Islam. Bandung. Penerbit Nuansa:2004. hal. 87.
[13]“jika ada akal fikirnya
Ahl al-Nazhar itu namanya
Durhaka bila ia meninggalkannya
Juga tiada selamat baginya.”
[14]Abdurrahman Shiddiq, Syair Ibarat dan Khabar Qiyamat, Singapura Maktabah Ahmadiyah, 1344 H., hal. 26. Dalam  Muhammad Nazir Karim, Dialektika teologi Islam, Bandung, Penerbit Nuansa, 2004 M., hal. 91.
[15][15]Ibid,. hal. 118.
[16]Abdurrahman Shiddiq, Sya’ir ‘ibarat, Op. Cit., hal. 3. Dalam  Muhammad Nazir Karim, Dialektika teologi Islam, Bandung, Penerbit Nuansa, 2004 M., hal. 130.
[17]Abdurrahman Shiddiq, Fath-‘Alim fi Tertib al-Ta’lim, Singapura, Mathba’ah Ahmadiyah, 1929, hal. 13. . Dalam  Muhammad Nazir Karim, Dialektika teologi Islam, Bandung, Penerbit Nuansa, 2004 M., hal. 154.
[18]Muhammad Nazir Karim, Dialektika teologi Islam, Bandung, Penerbit Nuansa, 2004 M., hal. 154.
[19]Ibid.,